19 Mac 2009

Renung dan fikirkan bersama

Saya sedang mengemaskini fail-fail yang ada di dalam simpanan MyDocs saya. Terjumpa satu info yang mengikut catatannya, saya simpan sejak tahun 2007 dulu. Saya baca semula dan saya yakin, ia berguna untuk tatapan pembaca semua. Saya tak pasti sumbernya dan hasil tulisan ini di dalam bahasa Indonesia tapi masih boleh difahami, insyaAllah... renungkan dan fikirkan lah bersama...

------------------------------------------------------------------------

Albert Camus, seorang novelis Perancis, sekaligus penulis essay dan sastra drama yang pada tahun 1957 mendapatkan hadiah nobel di bidang sastra, telah menggoreskan sebuah ungkapan:
“Anda tidak akan pernah bahagia jika Anda terus menerus hanya mencari kandungan kebahagiaan. Dan Anda pun tidak akan pernah hidup jika Anda hanya mencari makna kehidupan.”

Berapa banyak buku berisi kisah yang penuh makna. Berapa banyak kisah orang-orang terdahulu yang mengajarkan hikmah. Tak terhitung pula ungkapan-ungkapan dari orang-orang bijak termasuk ungkapan Camus di atas yang memberi inspirasi kepada pembacanya. Namun, belum dikatakan hidup yang sebenarnya jika seseorang hanya mencari dan mengumpulkan makna-makna itu tanpa berusaha menjalaninya. Sehingga tak salah jika ungkapan lain bertutur kepada kita, bahwa “pengalaman hidup adalah guru terbaik bagi kita.”

Tafakur
Makna, kehidupan, pengalaman, dan terakhir guru. Sebagai sebuah komunitas muslim, apakah arti ini semua? Pertanyan-pertanyaan selalu membawa sebuah konsekuensi, yaitu ‘berpikir’. Jika kata kunci ‘berpikir’ ini dimasukkan ke mesin pencari ayat, http://quran.degromiest.nl/search.php?lang=indonesian&perpage=10&l=indonesian&l=english&surah=all&q=berpikir, ditampilkanlah 12 ayat yang mengandung kata kunci tersebut. Itu belum termasuk kata lain yang memiliki kemiripan makna seperti ‘berakal’, yang menghasilkan lebih banyak lagi ayat. Hal ini bertutur kepada kita akan pentingnya berpikir, berakal, bertafakur, berzikir dalam perjalanan menuju Allah.

Dari sekian banyak ayat itu, ayat ke 21 dari surat Ar Ruum bertutur:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Dia telah menjadikan rasa kasih dan sayang tumbuh dalam hati manusia, yang salah satunya adalah kepada pasangan hidup (istri atau suami). Rasa kasih sayang ini lah yang menjadi landasan dalam setiap hubungan pasangan ini, seperti dalam berkomunikasi, bekerja, mendidik anak, beribadah, dan sebagainya. Ayat itu bertutur akan pentingnya manusia memikirkan hal ini, karena di situ terdapat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Semakin dalam memikirkannya, semakin dalam dan luas aliran ilmu dan hikmah yang akan didapat. Namun, sedalam-dalamnya dan senyata-nyatanya ilmu adalah jika itu diteguk dari pengalaman sendiri dalam kehidupan. Barangkali ini lah yang dimaksud oleh Camus.

Dan teryata, betapa luasnya pengalaman itu telah membentang dalam kehidupan kita sehari-hari. Tanpa perlu kita mencari, pengalaman itu menghampiri. Bukan hanya rasa kasih dan sayang, namun juga malapetaka, kesengsaraan, dan gancangan berbagai cobaan (Al-Baqoroh: 214). Itulah hidup yang sebenarnya, yang menjadi ladang bagi manusia untuk berjalan semakin mendekatiNya, melalui proses berpikir, bertafakur, berzikir. Ketiga proses ini memiliki makna yang sama: merasakan, melihat, mengetahui, dan mencatat tanda-tanda kehadiranNya yang begitu dekat dengan kita.

Ibadah Sosial
Sebagai individu, masing-masing dari kita sudah cukup banyak mendapatkan jatah ladang berpikir ini. Sekarang, sebagai sebuah komunitas yang memiliki kesempatan untuk bersama-sama setidaknya setiap minggu atau setiap bulan, apa yang bisa dilakukan untuk membantu masing-masing individu agar semakin memahami (memikirkan) tanda-tanda kehadiranNya di balik peristiwa-peristiwa yang dialaminya?

Yang jelas, tidak ada dua individu yang sama persis pemahaman keagamaannya, tingkat keimanannya, semangat beribadahnya, kemudahan dan kesulitan yang dihadapinya, dan kemampuan memahami peristiwa yang dialaminya. Sehingga, tidak ada satu rumus yang berlaku untuk semua.

Salah satu hal yang bisa menjadi bahan pengalaman bersama, yang masing-masing akan bisa diajak berbicara dan menggali makna bersama, berpikir bersama, adalah ibadah sosial yang dilakukan secara berjamaah.

Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, bertutur tentang keutamaan ibadah sosial di Gatra edisi 16 Januari 2006:
“Dalam hadis qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi Ka’bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. Allah dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah individual. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta’addiyah afdhol min al-qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).”
Beranjak dari hadist dan penjelasan dalam wasiat imam di atas, kiranya sangatlah bersyukur kita, yang bersama-sama dalam komunitas deGromiest ini, karena memiliki berbagai kegiatan yang bersifat sosial atau horisontal.

Dari Ludruk Galiro
Sebagai kependekan dari Gerakan Lima Euro, Galiro yang baru berusia 4 bulan ini menyandang beberapa rencana besar, meskipun pada hakekatnya fungsi utamanya sederhana: menggalang sebanyak mungkin dana khususnya dari mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang tinggal di Belanda, kemudian menyalurkannya ke Indonesia.

Kepada siapa dana ini di salurkan? Berdasarkan semangat awal didirikannya Galiro, dana yang terkumpul akan disalurkan terutama untuk pendidikan dan juga untuk alokasi lain seperti bantuan korban bencana alam.

Dari acara Ludruk Galiro bersama Cak Tri cs, dimana pengurus, penggagas dan beberapa anggota dimintai laporan perkembangan, usulan kegiatan penggalangan dana, dan rencana ke depan Galiro, terungkap pentingnya gerakan ini menjadi sebuah yayasan. Kebetulan saat itu Ustadz Hambali dari Den Haag masih di tempat sehingga bisa memberi masukan tentang lamanya proses pendirian yayasan di Belanda. Beliau bilang bahwa pendirian yayasan di sini mudah dan relatif cepat.

Jika yayasan ini bisa segera dibentuk, banyak kegiatan penggalangan dana yang bisa dilakukan terhadap warga Belanda asal Indonesia. Ide-ide kreatif penggalangan seperti menjual berbagai jenis kue ke calon donatur insidental atau pun tetap itu sudah ada. Kendala bergeraknya hanya soal ijin dan yayasan saja.

Sejumlah 50-an donatur Galiro yang saat ini rutin menyalurkan 5 euro per bulan ke pundi-pundi Galiro, kiranya sudah cukup menggambarkan besarnya dukungan anggota. Untuk membuat yayasan, kini tinggal butuh perencanaan dan kemauan untuk bergerak. Dengan jenaka, Cak Tri mengultimatum, “Akhir Maret 2006 kita sudah bisa lihat Galiro sebagai yayasan, ya…”

Kembali pada topik tulisan ini, tentang pemaknaan ibadah sosial, kiranya menjadi amanah bagi pengurus Galiro, untuk menjadikan proses ibadah sosial melalui Galiro ini menjadi proses bersama-sama, baik bagi pengurus maupun donatur. Donatur yang belum mengetahui kebijakan penyaluran dana, tentu akan semakin bersemangat ibadah sosialnya jika mendapat informasi secara transparan. Hubungan antara donatur dengan penerima bukan hanya hubungan finansial, tetapi juga hubungan bathin dan doa. InsyaAllah, ibadah sosial bersama Galiro pun semakin bermakna.

Perenungan di Dapur
Bagian akhir dari tulisan ini terlahir ketika pertama kalinya saya (dalam kaca mata saya yang kadang tidak hadir) melihat dalam sejarah deGromiest, ada 7 sampai 8 orang sedang sibuk di dapur, mencuci 40 pasang piring-mangkuk-gelas-dan-sendok, dan semuanya laki-laki. Dan ini menambah daftar gotong-royong yang dilakukan sebagai komunitas di luar negeri. Saat itu pikiranku bercampur aduk antara haru dan khawatir. Terharu karena terbayang penggalan puisi di bawah ini, dan khawatir kalau ini yang pertama dan yang terakhir.

yang makan di atas tanah, adalah Muhamad Rasulullah
yang duduk laksana seorang bocah, Dia Rasulullah
yang menampal sandal ditangan sendiri, Dia Rasulullah
yang menjahit baju dengan tangan sendiri, Dia Rasulullah
yang mengendarai keledai takberpelana, Dia Rasulullah
yang mencahayai hidup dunia akhirat, Muhamad Rasullulah
yang cekal cekap takmudah berputusasa, Dia Rasulullah- (Arisel BA, 2003)

Rasulullah saw, manusia yang mulia, pemimpin yang bijaksana, memberi contoh bagaimana menjadi seorang suami yang baik. Rasulullah saw sering menolong isterinya melakukan pekerjaan di rumah yang beliau dapat lakukan sendiri seperti menjahit baju yang koyak, memasak, membersihkan halaman dan pekerjaan lain.

Apa yang dilakukan dengan ikhlas oleh para lelaki itu, semoga menjadi sebuah contoh pembumian sifat-sifat mulia seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Seperti yang dituturkan oleh Camus, seseorang tidak akan mendapatkan hidup yang sebenarnya hanya dari membaca makna kehidupan orang lain, melainkan harus melalui perjalanan hidupnya sendiri. Dan ini membuat aku bersyukur dan bangga menjadi bagian dari deGromiest, karena di sini nilai-nilai yang dicontohkan baginda Rasul bukan hanya dibicarakan di majelis pengajian, tetapi juga dibaktikan secara nyata dalam hal yang kecil-kecil seperti ini.

Nilai apa yang selanjutnya diharapkan akan tumbuh dengan subur? Itulah nilai cinta, kasih sayang, dan penghargaan melalui perhatian besar kepada hal-hal kecil. Seperti Rasul yang meminta ijin Aisyah untuk beribadah dimalam ketika kulit mereka bersentuhan. Seperti Allah yang memberi penghargaan kepada semut melalui sebuah surat yang diberi nama dengan nama binatang kecil ini, ‘An Naml’.

Di samping berusaha memaknai silaturahmi ini dengan sifat mulia Rasul, kita juga melakukan ibadah sosial, dengan memikirkan dan menjaga lingkungan, dan menyisihkan sisa uang yang biasanya untuk membeli alat sekali pakai lalu buang, untuk disalurkan ke Galiro, untuk saudara-saudara kita di Indonesia.

Jangan semua pergi perang
Dalam sejarah Islam, tidak boleh seluruh laki-laki pergi berperang. Harus ada yang tinggal untuk menimba ilmu, membumikan al-Quran, dan mengajarkannya kepada generasi penerus. Dan aku pun melihatnya malam itu. Sebagian di dapur, sebagian menimba ilmu. Semua mengambil peran masing-masing. Bagiku indah.

Malam itu kulihat terdapat beberapa lingkaran majelis kecil. Ada yang berdiskusi dengan Ustadz Hambali. Dengan sorot mata yang tajam, beliau seperti sedang menjawab pertanyaan beberap sahabat. Ada yang sedang berbicara dengan tamu kita yang beragama lain, agar sang tamu merasa nyaman berada di tengah-tengah majelis deGromiest. Ada yang melingkar berdiskusi tentang sejarah Islam, dan sebagainya.

Tulisan ini adalah sumbangan kecil dari perenungan di bagian dapur, atas silaturahmi yang lalu. Tentu akan semakin kaya dengan tulisan-tulisan seperti dari sahabat-sahabat yang menemani Ustadz Hambali dan menggali ilmu dari beliau. Begitulah Islam sebagai satu tubuh. Semua memiliki fungsi dan perannya masing-masing.

Terakhir, saya teringat Ali bin Abi Thalib bertutur, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Dan satu lagi dari Pramoedya Ananta Toer dalam Khotbah dari Jalan Hidup,
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah… Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Mari kita bekerja untuk keabadian.

Tiada ulasan: